Rabu, 27 Mei 2009

Perlindungan Konsumen Pengguna Jasa Pariwisata

Dalam dunia pariwisata, perlindungan terhadap wisatawan baik wisatawan mancanegara maupun domestik, masih sangat rendah dan terkadang hukum yang berlaku tidak mempunyai kekuatan untuk melindungi wisatawan. Sampai saat ini para wisatawan hanya menjadi obyek oleh pelaku bisnis pariwisata yang tidak bertanggung jawab. Ini menjadi perhatian penting, bahwa sangat di perlukan sebuah peraturan yang tidak hanya membahas tentang kepariwisataan tetapi juga perlindungan terhadap para wisatawan dari segala hal baik menyang kut aspek perjalanan, penginapan, obyek obyek atau tujuan wisata dan pengaturan hak dan kewajiban wisatawan. Ada hal-hal penting yang harus di perhatikan dalam berwisata, yang dapat di jadikan pegangan oleh wisatawan agar terhindar dari kerugian. Diantaranya yaitu yang terdapat dalam UU No.8 tahun1999 tentang perlindungan konsumen dan UU No.30 tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternative DisputesResolution (ADR) kedua UU ini di jadikan sebagai pegangan untuk perlindungan kepentingan pengguna jasa pariwisata, baik yang berasal dari luar negeri maupun domestik. Dalam masa globalisasi, perlindungan terhadap pengguna jasa domestik dan para mengusaha pariwisata domestik sangat di perlukan sehingga idustri pariwisata dalam negeri terlindungi. Begitu juga dalam sistem desentralisasi. Otonomi daerah harus dapat memacu dan menjamin perkembangan pariwisata daerah sehingga dapat menggali potensi-potensi yang ada di daerah, serta menjamin terwujudnya pembanguna daerah yang berkelanjutan, seperti telah di atur dalam UU Otonomi Daerah No.22 tahun 1999.

Hak dan Kewajiban Wisatawan

Seorang wisatawan mempunyai hak-hak yang harus di penuhi oleh penyelenggara jasa pariwisa. Apabila di kaitkan dengan peraturan perundangan yang ada yaitu UU No.8 tahun 1999 tentang perlindungan konsumen, maka sesuai dengan pengertian yang ada dalam UU tersebut seorang wisatawan dapat di sebut sebagai konsumen.dalam hal ini adalah konsumen jasa di bidang pariwisata. Sebagai konsumen maka wisatawan mempunyai hak-hak yang di atur dalam pasal 4 UU No.8 tahun 1999. sebelum di atur dalam peraturan perundang undangan yang lain, UU No.8 tahun 1999 dapat di gunakan untuk melindingi dan mengatur hak dan kewajiban seorang wisatawan/ konsumen jasa pariwisata. Pengertian ini tidak hanya terbatas wisatawan asing maupun domestik, tetapijuga berlaku bagi pelaku usaha yang melakukan usaha dalam wilayah hukum indonesia. Selain hak sebagai konsumen wisatawan juga di kenakan kewajiban seperti apa yang di atur dalam pasal 5 UU No. 8 tahun 1999. kewajiban lain yang harus di perhatikan adalh, wisatawan wajib memperhatikan dalm memelihra dalam segala hal yang berhubungan dengan lingkungan sekitar obyek pariwisata. Ini penting untuk di ketahui dan benar benar di laksanakan oleh wisatawan, agar terhindar dari kerugian akibat tidak mengetahui hak dan kewajibanya.

Kompensasi (Ganti Rugi)

Seorang wisatawan apabila dalam menggunakan jasa mengalami kerugian atau ada hak-hak yang di langgar sehingga menimbulkan kerugian, maka pihak penyelenggara wajib memberikan ganti rugi atau kompensasi kepada wisatawan. Hal tersebut sudah di atur dalam pasal 19, bahwa kompensasi atau kerugian yang dialami konsumen menjadi tanggung jawab pelaku usaha. Ganti rugi yang di berikan berupa penggantian uang atau penggantian barang dan atau jasa sejenis atau setara nilainya.pemberian ganti rugi ini harus di laksanakan dalam jangaka waktu 7(tujuh) hari setelah tanggal transaksi (pasal19 ayat(3).apabila dalamkerugian yang diderita oleh konsumen ada unsur pidananya maka kompensasi yang di berikan tidak menghapuskan adanya tuntutan pidana, berdasarkan pembuktian lebih lanjut mengenai adanya unsur kesalahan yang di lakukan pelaku usaha jasa (pasal 19 ayat(4)).

Penyelesaian sengketa

Kepastian hukum dalam rangka menjamin adanya perlindungan bagi pengguna jasa/wisatawan sangatlah penting. Artinya, apabila wisatawan tersebut telah memahami hak dan kewajibannya maka yang di lakukan adalah bagaimana menjamin bahwa hak dan kewajiban wisatawan dapat terjamin, dan apabila terjadi pelanggaran terhadap hak dan kewajiban, maka perangkat hukum mana yang akan di bunakan, hal ini bisa di lakukan bila dalam UU yang mengatur tentang kepariwisataan tidak mengatur sebuah metode penyelesaian sengketa. Penyelesaian sengketa di luar pengadilan sangat di perlukan. Yaitu untuk mempermudah wisatawan dalam memperoleh kembali hak hak yang dilanggar, dan untuk menghemat waktu. Karena tidak dimungkinkan apabila terjadi sebuah sengketa penyelesaiannya dilakukan di peradilan umum. Hal ini juga ingin kita hindari karena proses yang di lakukan melalui peradilan umum sangat bebelit dan membutuhkan waktu yang lama, sehingga berbenturan dengan masa kunjungan wisatawan yang berasal dari luar negeri dan tidak efisien. Metode penyelesian sengketa di luar pengadilan seperti yang terdapat dalam UU No.8 tahun 1999 dapat di lakukan dengan mediasi, konsiliasi, tetapi apabila tidak terncapai maka dapat di lakukan di peradilan umum (pasal 45) dalam UU No.8 tahun 1999, di jelaskan bahwa sengketa konsumen dapat di selesaikan melalui Badan Peyelesaia Sengketa Konsumen (BPSK) yang di bentuk di tiap tiap Dati II di seluru Indinesia. Peraturan yang mengatur tentang penyelesaian sengketa di luar pengadilan yaitu, undang-undang No.30 tahun1999 tentang Arbitrase dan Alternative Disputes Resulation (ADR).

Globalisasi

Memasuki globalisasi,perlindungan terhadap potensi-potensi wisata yang kita punyai harus dapat dipertahankan.karena hal ini merupakan ciri khas suatu negara,sehingga wisatawan yang berkunjung ke Indonesia termasuk Bali.Pengembangan faktor-faktor penunjang dalam mengembangkan industri pariwisata Indonesia juga harus diperhatikan dan perlu dijaga eksistensinya.sehingga dalam percaturan industri pariwasata ,Indonesia dapat bersaing dan menjadi unggulan dalam hal kepariwisataan.

Perlindungan terhadap pengusaha pariwisata domestik juga harus mendapat perhatian penting,mengingat pariwisata adalah sebuah industri yang unik dan memiliki ciri khas tersendiri,yaitu nilai-nilai tradisi budaya dan obyek-obyek pariwisata yang khas/unik dan hal ini hanya dipahami dan diketahui oleh pengusaha domestik. Globalisasi bukan berarti menghilangkan unsur-unsur budaya tersendiri dan menjadikannya unsur yang harus disesuaikan dengan globalisasi,tetapi globalisasi dapat menghormati dan mengembangkan suatu kebudayaan dan tetap menjaga keaslian dan menghormati budaya tersebut. Globalisasi juga bukan berarti tidak mengindahkan kaedah-kaedah hukum yang berlaku di Indonesia,karena ketika kita berada di negara lain,kita harus mematuhi ketentuan –ketentuan hukum yang berlaku di negara tersebut.Transfer teknologi dalam pengembangan industri pariwisata Indonesia harus cepat dilakukan,agar dapat memanfaatkan secara maksimal potensi-potensi pariwisata yang ada,baik berupa obyek/tempat wiasata dan sumber daya manusia (SDM),fasilitas penginapan,fasilitas transportasi,dan lain-lain.Jangan sampai pengusaha wisata domestik hanya menjadi penonton dalam Industri pariwisata di negerinya sendiri.

Pemerintah dalam hal ini dapat mengambil peran penting dalam melindungi pengguna jasa pariwisata,berupa kebijakan-kebijakan yang menjamin perlindungan hukum,dan kemudahan dalam akses pelayanan pariwisata,seperti kemudahan administrasi dalam pengurusan izin masuk kesuatu daerah wisata.Namun hal ini juga harus didukung oleh adanya itikad baik dai calon wisatawan.mereka harus mematuhi ketentuan yang berlaku di Indonesia.kebebasan yang diberikan dalam mendapatkan kemudahan harus dapat dipertanggungjawabkan dalam mencegah hal-hal yang tidak diinginkan (terorisme,narkotika,perdagangan gelap,dan lain-lain)

Proses pengembangan pariwisata tidak terlepas dari kemampuan daerah dalam mengelola potensi yang ada,adan ini juga didukung oleh pengetahuan dan keterampilan sumber daya manusia yang ada serta peran serta masyarakat dalam iklim keterbukaan dan demokratisasi,dan juga menyadari sebebearpa penting pariwisata dapat mempengaruhi perkembangan sebuah daerah,daerah dari daerah yang miskin menjadi daerah yang maju dan berkembang.


Penulis Peneliti di Bali Research Advokasi Centre

Dan Ketua Yayasan Lembaga Perlindungan Konsumen Bali

Tidak ada komentar:

Posting Komentar