Minggu, 07 Juni 2009

Arti Pergerakan Perlindungan Konsumen

Nasib perlindungan konsumen di negara-negara berkembang termasuk Indonesia Untuk melawan keangkuhan pelaku usaha atau produsen yang melakukan pelanggaran pelanggaran masih menjadi pemandangan yang jamak,dan pelanggaran-pelanggaran tersebut tetap terjadi bahkan kasusnya semakin marak. Masyarakat konsumen kita yang telah lama dijadikan obyek dan harus selalu memenuhi atau tunduk pada keputusan pemerintah serta keinginan pengusaha, tampaknya mulai lelah dan sadar bahwa dirinya mempunyai hak untuk didengar pendapatnya. Sehingga di saat pemerintah mengumumkan kenaikan Harga BBM,Elpiji, dan berbagai bentuk kenaikan tarif lain yang telah disetujui DPR . Hal itu langsung memperoleh respon keras dari konsumen. Adalah ketidakadilan yang mereka rasakan, bila dalam suasana sulit dan beban hidup konsumen sangat berat mereka harus dibebani kenaikan berbagai tarif dan harga barang-barang kebutuhan pokok yang sampai detik ini masih belum bersahabat

. Boikot ! Satu kata yang sering dinilai negatif, terutama oleh penguasa atau mereka-mereka yang biasa melakukan penekanan. Padahal sebenarnya boikot mempunyai arti positif dan penting bagi yang melakukannya, yang umumnya kaum lemah, guna memperbaiki posisi tawar mereka. Di negara-negara maju boikot merupakan hal biasa yang dijumpai sehari-hari. Dilakukan tidak hanya untuk memperbaiki nasib dan posisi tawar, tetapi juga untuk menyampaikan sikap. Masyarakat Amerika pernah melakukan boikot mengkonsumsi burger, karena ingin menunjukkan sikap prolingkungan dan tidak setuju terhadap penebangan hutan yang hanya untuk kepentingan pemodal beternak sapi dan dagingnya untuk industri burger. Atau kampanye gerakan konsumen memboikot penggunaan berlian De Beer, yang terkenal dengan iklan kasih sayangnya, guna menyampaikan sikap anti-ekploitasi terhadap buruh tambang di Afrika yang mensuplainya. Boikot semacam ini cukup efektif karena mereka memahami bahwa suara konsumen adalah pasar mereka.

Respon konsumen yang demikian keras dan terus mengalir ke beberapa Lembaga Konsumen di Indonesia. Setiap ada kenaikan komuditas baik barang dan/atau jasa kekesalan dan kekecewaan konsumen ditumpahkan kepada Organisasi konsumen seperti YLKI dan beberapa Lembaga Perlindungan Konsumen yang dibentuk dibeberapa kabupaten kota di Indonesia.Sebenarnya YLKI tidak sendirian pasca lahirnya UU No.8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen sesuai amanat UU tersebut Lembaga-lembaga konsumen di Indonesia tumbuh subur bagaikan jamur di musim hujan.Sampai tahun 2008 ini sekitar 200 an Lembaha Konsumen berdiri beberapa daerah di Indonesia termasuk Bali.Artinya dengan semakin banyaknya lembaga konsumen terbentuk kekuatan konsumen akan lebih terlindungi karena semakin banyaknya relawan-relawan atau pembela konsumen yang akan berjuang dan memberdayakan konsumen.Lalu pertanyaanya apakah konsumen sudah diberdayakan atau konsumen malah tidak berdaya? Pertanyaan tersebut sering penulis temukan di lapangan.Apalagi ketika penulis melakukan advocacy konsumen perumahan di Jimbaran th.2007 dan konsumen pelanggan Kartu seluler di kota Denpasar tah.2008 . Untuk memberikan informasi dalam rangka pemberdayaan konsumen, di samping juga memberikan petunjuk trik-trik menghadapi perlakuan yang tidak adil dari pelaku usaha atau produsen yang curang orgaisasi konsumen selalu tampil terdepan untuk mengawal dan melakukan advocacy kepada konsumen .Dan gerakan ini diharapkan terkoordinir secara sistematis untuk menjadi gerakan bersama, sehingga hasilnya pun akan lebih maksimal. Keinginan dan ajakan konsumen untuk boikot produk tertentu lahir akibat kekecewaan konsumen terhadap pelayanan yang diberikan oleh produk tersebut.Misalnya Pelayanan PT.Telkom yang sering memberikan layanan yang buruk mengakibatkan kekecewaan konsumen yang begitu besar. Contoh sekitar 30 konsumen di wilayah Bali,berencana akan memnggugat PT.Telkom Bali,akibat buruknya layanan Fleksi dan layanan telepon 108. Untuk layanan 108, sekitar 39 kasus mengadukan ke Lembaga Perlindungan Konsumen Bali,dikarenakan pelayanan sangat mengecewakan seperti banyaknya informasi yang keliru,informasi nomor telpon salah,dan banyak yang tidak memahami kondisi layanan di Bali,Ketika penulis melakukan advocacy ternyata layanan 108 telah migrasi (berpindah) ke Surabaya. Coba bayangkan masih banyak petugas layanan 108 di surabaya tidak tahu kondisi Bali yang sebenarnya.Bahkan menurut pandangan penulis ketika dilakukan migrasi layanan 108 Telkom Bali yang telah migrasi ke Surabaya justru memberikan layanan yang lebih buruk dan ini sangat merugikan konsumen.Bahkan banyak konsumen layanan PT.Telkom Bali akan melakukan boikot,namun melalui lembaga Konsumen lebih memilih mediasi untuk mencapai tujuan yang lebih baik.

Meskipun variasi atau tingkat boikot yang diinginkannya berbeda-beda. Ada yang bentuk boikotnya menidurkan atau tidak mengaktifkan teleponnya, sehingga bila perlu berhubungan ke luar akan menggunakan telepon umum. Bagi mereka yang mempunyai sambungan telepon berlebih, boikot yang akan dilakukan adalah mengembalikan sambungan telepon ke Telkom. Namun, yang terbanyak adalah boikot untuk tidak membayar rekening tagihan Semua bentuk boikot di atas dapat dilakukan konsumen, namun bagi organisasi konsumen bentuk pertama dan kedua adalah yang paling obyektif, tidak melanggar hak Telkom. Sebagai pihak yang selalu berprinsip anti pelanggaran hak, maka harus diterapkan pada tindakannya untuk menunjukkan sikap gentle-nya konsumen. Bagi sebagian konsumen boikot menidurkan teleponnya dan menggunakan telepon umum bila akan berkomunikasi adalah sesuatu yang tidak nyaman. Akan tetapi, justru ketidaknyamanan inilah yang harus dibayar oleh konsumen sebagai bentuk pengorbanan untuk perbaikan nasib konsumen.

Solidaritas dan gelombang keberanian konsumen untuk menuntut haknya melalui boikot tentu tidak lepas dari peran media massa cetak ataupun elektronik yang mampu menciptakan opini publik. Di sisi lain organisasi konsumen juga memperoleh feeding informasi serta support dari berbagai pihak, mulai dari individu-individu yang sangat paham dan pernah berkecimpung di telekomunikasi, analis-analis ekonomi seperti Econit, organisasi profesi dan juga rekan-rekan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Secara bersama-sama menggalang kekuatan sesuai dengan kapasitasnya masing-masing. Mempersiapkan diri untuk mendampingi para konsumen di pengadilan, bila nantinya boikot konsumen berakibat dengan proses pelayanan yang lebih buruk lagi akibat kekecewaan produsen/Pelaku usaha terhadap aksi boikot tersebut Kelompok mahasiswa sesuai dengan kemampuannya mengkoordinir unjuk rasa. Sedangkan para advokat dapat mengorganisir kelompok untuk memberikan somasi.

Hasil akhir yang dicapai dari perjuangan ini tidak dapat memenuhi keinginan konsumen seratus persen, yaitu pembatalan kenaikan tarif. Mungkin bila dinilai angka keberhasilan perjuangan ini baru mencapai 70 persen, namun yang harus dihayati adalah bahwa perjuangan yang dilakukan bersama-sama telah mampu mengubah sikap pemerintah, pengusaha serta DPR untuk tidak memaksakan kehendaknya atau menang sendiri. Konsumen dan Lembaga Konsumen yang tumbuh bertebaran dibeberapa daerah,pasca lahirnya undang-undang No.8 th 1999 tentang perlindungan konsumen (UUPK) masih mempunyai peluang tawar mengajukan persyaratan tertentu

Untuk itu sekarang ini saatnyalah para konsumen merebut kesempatan guna mengaktualisasikan gerakannya

Masih banyak hal yang perlu diperjuangkan bersama-sama khususnya yang menyangkut public services, seperti penentuan tarif air minum, tidak dilayaninya permohonan penyambungan listrik baru dengan daya di bawah 1.300 watt. Ini benar-benar mengabaikan konsumen miskin dan lemah. Belum lagi masalah-masalah yang berkaitan dengan perizinan, seperti izin bangunan, izin trayek transportasi dan masih banyak lainnya. Tanpa upaya dan kemauan konsumen sendiri, mustahil perbaikan nasib dan posisi tawar-menawar yang adil dapat terwujud.

Sekarang masalah pergerakan perlindungan konsumen di Indonesia mulai sekarang perlahan-lahan sudah mendapat perhatian dari pihak pemerintah,pelaku usaha dan konsumen itu sendiri.Hal ini diakibatkan oleh beberapa hal,yaitu pihak pemerintah tidak mau dituding setengah hati dalam melaksanakan fungsi pengawasan dibidang perlindungan konsumen.Begitu juga peranan dari pihak produsen itu sendiri mulai tumbuh terhadap kepedulian kepada konsumen terkait produk yang dihasilkan.Ibarat pembeli adalah raja dan konsumenlah rajanya pelaku usaha dan konsumen tidak bisa dipisahkan apalagi dijauh-jauhkan pasti akan pincang ibarat mobil tanpa rem pasti akan blong makanya kedua duanya mesti berdiri dan saling menghormati seperti pesan dari UUPK tersebut.

.

Penulis Peneliti di Bali Research Advocacy Center

Ketua Lembaga Perlindungan Konsumen Bali

Tidak ada komentar:

Posting Komentar